Senin, 15 Juli 2019

KETIKA KAU MEMILIH SEMBUNYI

foto ilustrasi oleh : lurahpawon

"...Akui saja bahwa kamu penakut, tak segarang kaos band, sepatu, jaket, spike, dan macam-macam atribut yang kau kenakan..."

Serba -serbi pilihan  dan keadaan, serba-serbi pukulan dan tekanan, bertubi-tubi konflik di dalam diriku dan dirimu. Dibawah purnama bulan ‘Ruwah’ di ruangan kurang dari 3x2 meter persegi, tak ada bir, tanpa tawa, hanya rokok putih murahan dan track favorit dari play list portal musik  gratisan aku meratap dalam dan bertanya dalam hati “dimana mereka? Dimana tawa? Dimana mulut-mulut dan gerak masa indah itu? Kenapa waktu harus bergulir sedemikian rupa? Dan bagaimana denganku? Sungguh aku bosan. Aku bosan dengan siklus klise dalam lingkaran ini. Kawan-kawanku pergi satu persatu dengan alasan yang muak untuk ku dengar. Melanjutkan sekolah, kerja, menikah, dan macam-macam jalan menuju yang katanya masa depan, persetan! Kenapa itu harus terjadi? Kenapa harus menjadi pilihan pasti? Kenapa kita tidak bisa menjadi remaja selamanya? Siapa yang menuntut dan menentukan akan menjadi seperti apa kita? Bukankah masa muda sangatlah menyenangkan? Lantas kenapa harus menua? Baik, mungkin aku bisa menerima, atau paling tidak belajar untuk menerima bahwa semua harus berproses, menua, dan mati. Tapi kita belum selesai, kita masih jauh dari itu, kau dan aku masih belum melakukan sesuatu yang berarti untuk menyelesaikannya. Kita masih sangat payah kawan!

Jika boleh usul, sebenarnya masalah di lingkaran kita atau yang biasa disebut skena, komunitas, kolektif, atau apapun itu, yang membuat banyak dari kita hengkang untuk mengejar hidup yang lebih baik lalu hanya menyisakan beberapa yang mencoba bertahan sambil tertatih. Masalah kita sederhana, kita tak bisa saling menghidupi, kita tak bisa saling berkontribusi, baik secara spirit maupun finansial. Jujur saja, kamu terpengaruh oleh lingkungan, orang tua, atau mungkin pacarmu, untuk melayakkan hidup seperti yang kebanyakan orang lakukan. Lalu apa artinya kau berteriak ‘fuck the world’ di umur 17 kalau hanya untk kau tinggalkan 5 tahun kemudian? Atau bahkan lebih cepat dari itu. Akui saja bahwa kamu penakut, tak segarang kaos band, sepatu, jaket, spike, dan macam-macam atribut yang kau kenakan. Coba bayangkan saja jika kita bisa saling dukung, jika kau mendukung teman satu tongkronganmu untuk memulai usaha mandiri, untuk membuka warung, menjalankan record label, membuka studio musik, studio menggambar, memulai berjualan merchandise, atau apapun itu. Intinya bagaimana kita bisa membangun ekonomi yang massif dalam lingkaran kita ini, hingga kita bisa mewujudkan cita-cita masa muda kita untuk tetap bisa tertawa dan mendengarkan punk rock sampai usia tua, sampai orang-orang mayoritas melihat bahwa kita tidak menjadi jatuh miskin akibat mendengarkan, bermain, dan hidup di dalam skena punk rock. Tapi usulku ini tentu bukanlah ide yang baik apalagi bijak. Aku hanyalah pemabuk dan pemimpi kelas teri dari trotoar timur perempatan.

Harus kuakui bahwa untuk survive menjadi punkers di Indonesia apalagi di kampung, di desa seperti tempatku tinggal ini sangatlah susah, baik sebagai band, zine maker, produsen merchandise, atau menjadi pelaku apapun dalam skena punk disini sangatlah susah, apalagi yang masih ngotot untuk memegang teguh etos Do It Yourself. Maka tak heran jika yang bertahan pada akhirnya adalah mereka yang melacurkan diri atau bisa dibilang sell out. Bayangkan band yang baru nongol ke permukaan, yang baru merilis beberapa karya atau bahkan belum pernah rekaman, mereka dengan sadar mengemis untuk bermain di acara clothing, acara rokok, dan acara-acara pemodal besar lainnya, dengan fee manggung yang menurutku sangat tidak pantas. Memang siapa yang tak mau band-nya menjadi besar, terkenal, dan bisa hidup dari apa yang dikerjakan dengan suka-suka atau hobi? Tapi untuk besar tak perlu menjadi pelacur bukan? Aku juga mau dan akan senang jika band-ku menjadi besar, bisa untuk hidup dan menghidupi, tapi aku punya cara lain untuk menggapainya. Bukan aku anti dengan acara clothing, acara rokok, dan acara besar (baca;korporat) lainnya, walaupun sampai saat ini aku belum pernah menyentuh panggung-panggung itu, silahkan kalian bilang bandku gak laku, jikalaupun aku akan bermain di panggung-panggung seperti itu aku akan meminta bayaran yang besar, akan kubelikan bir, vodka, ganja, pil, dan barang-barang lainnya yang akhir-akhir ini jarang terbeli karna tak terjangkau lagi, hahaha. Jika promotor atau EO tidak mau dan memang tidak akan mau membayar bandku dengan mahal (karena kurang menjual), maaf aku masih bisa sewa alat sendiri atau patungan dengan beberapa temanku untuk membuat acara sendiri.

Setahuku, Punk Rock pada awalnya ya memang sebuah bisnis. Sex Pistols, Ramones, The Clash, mereka semua masuk major label. Jika ada lirik yang bernuansa perlawanan, ya itu hanya bumbu, atau memang itu yang ingin ditulis dan sedang dirasakan, karena sebelum Punk Rock sudah banyak band yang memasukkan perlawanan fuck ini fuck itu dalam liriknya. Tapi tidak salah juga ketika lirik-lirik itu ditanggapi serius oleh pendengarnya. Sehingga muncul generasi selanjutnya yang lebih serius, mempunyai agenda politik, meyakini faham ini dan itu, menyandang etos ini dan itu. Sama halnya sepertiku, ya terserah untuk kalian yang memilih untuk melakukan seperti yang kutulis di atas, untuk kalian yang hanya memainkan punk rock atau hardcore hanya sebatas musik dan bagaimana menjadi kaya atas itu, aku juga punya jalanku sendiri untuk memainkannya, bagaimana me-manage-nya, dan bagaimana aku memaknainya di segala lini kehidupanku.

Kembali meninjau ke alenia kedua tulisan ini, pekerjaan rumahku atau mungkin PRmu juga adalah bagaimana kita bisa survive dengan apa yang kita yakini, dengan prinsip yang terus terjaga, bagaimana skena tetap hidup dan bisa menghidupi tanpa harus menjadi pelacur. Bagaimana kita menyiasati hidup ketika terbentur dengan kebutuhan, dengan tuntutan ekonomi, ketika kita melalui fase hidup yang makin hari tentu makin tak mudah untuk dilalui, bagaimana agar bisa dilalui dengan mudah dan menyenangkan. Aku tentu tidak tau dan tidak pernah tau besok, apa yang akan terjadi denganku, apakah aku juga akan melacur, semoga saja tidak, dan yang paling penting bagiku adalah apa yang kita kerjakan hari ini.

Tulisanku yang jauh dari baik ini jangan dianggap terlalu serius, ini hanyalah opini sampah dari punkers kere yang beruntungnya masih enggan untuk menyerah. Akan sangat bagus sekali jika kalian yang merasa tersinggung dengan yang aku tulis membuat tulisan tandingan, atau juga bisa berkontak gratis denganku di hakimulaziz31@gmail.com kalian juga bisa temui aku di instagram dan twitter @lurahpawon.

"Some people play hardcore, some people are hard-core, I don't play" - Harley Flanagan

Tulisan ini ditulis bulan Mei 2018 untuk dimuat di Sangkan Paran Zine yang sampai hari ini belum terbit.